Jumat, 26 September 2014

Cerpen

Bencanaku, Bencana Alam Semestaku (Gunung Tambora 1815)
Selasa, 07 Januari 2014
Karya: Desti Rahma Lestari

Mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya,
Ratusan ribu mayat tergeletak berdampingan,
Yang tersisa hanya manusia dengan rasa putus asa,
Mengeluh kelaparan, juga kehilangan.

Tak pernah terkisahkan apa yang sebenarnya akan terjadi,
Mungkin karna manusia yang terlalu menutup mata akan datangnya bencana,
Dunia menjerit tersiksa,
Kebahagiaan musnah tak tersisa,
Hingga yang ada penderitaan yang tiada akhirnya.

Manusia tersiksa,
Hingga tega menjual buah hatinya demi segenggam beras untuk menghilangkan laparnya,
Tangis para raja terdengar di seliruh belahan dunia,
“Rakyatku, inilah harus kita hadapi”

Datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya,
Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu,
Maka berbunyilah seperti bunyi meriam perang yang dahsyat menggerlagar,
Kemudian turunlah kersik, batu dan abu dengan segala penderitaan,
Lamanya tiga hari dua malam kejadian bak kiamat itu.

Lalu dunia mulai merasakannya,
Ketika musim panas hilang dimakan api,
Cahaya matahari musnah bak redup,
Yang ada hanya rintik air hujan yang mengubur jasad manusia yang kelaparan.

Ini laksana mimpi,
Mimpi buruk yang melanda dunia dan alam semesta,
Namun ini bukan mimpi,
Ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus dijalani,

Ya Allah,
Apakah mereka yang gugur adalah mereka yang engkau takdirkan untuk pergi?
Yang engkau takdirkan untuk pergi jauh dari derita yang telah Engkau berikan,
Lalu bagaimana dengan tangan-tangan kecil yang merintih tersiksa?
Apakah mereka yang Kau takdirkan untuk merasakan indahnya pelangi kelak?
Atau mereka adalah hamba-Mu yang tak bersyukur yang Engkau biarkan menderita atas ini?

Ya Allah,
Jika jeritan alam semesta adalah takdir terindahmu,
Mengapa yang gugur setelahnya harus merasakan deritamu juga?
Yang kelaparan,
Yang kehilangan,
Juga yang kesakitan mati dimakan waktu?
Hingga yang hidup hanya raja-raja, dan orang tua yang tak memiliki hati,
Yang menjual seseorang yang dicintai hanya karna takut mati.

Ini bukan hukum alam,
Seharusnya alam yang menghukum mereka,
Menghukum kejamnya mereka,
Namun ini bukanlah kehendaknya,
Tapi nasib yang memaksanya.

Kini 200 tahun telah berlalu,
Airmata itu berubah menjadi tawa,
Kehidupan yang sempat mati akibat letusan dahsyat gunung Tambora,
Berubah menjadi syurga yang tak tertandingi harganya.

Namun lagi-lagi mereka melupakan yang sebelumnya pernah terjadi,
Mereka kira bahwa tambora hanyalah gundukan tanah yang tak mungkin pernah bangkit,
Larangan, ritual, dan sejarah sudah tak dihiraukannya lagi,
Terpikat dengan kilauan keindahan,
Ya.. itulah mereka saat ini.

Semoga Allah beseta segala kekuasaanya selalu melindungi mereka saat ini,
Melindungi mereka dari bencana yang dulu pernah terjadi,
Semoga kebahagiaan selalu bersama mereka, dan seluruh alam semesta ini,
Dan semoga ini adalah bencana terbesar terakhir yang telah menghancurkan bumi beserta makhluk-Nya. 
Kunjungi blog ade saya untuk membaca cerpen-cerpen lainnya :
destirahma.blogspot.com/2014/08/bebaskan-diriku-cerpen.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar